Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menerima banyak aduan. Namun Ketua DKPP Harjono mengatakan tak semua laporan atau perkara tersebut dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
"Penyelenggara pemilu yang pernah diadukan DKPP ini sampai 15 ribu (sejak DKPP berdiri), tetapi apakah semua terbukti bersalah? Enggak, hanya sampai 50 persen," kata Harjono di Kantor DKPP di Gedung Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Rabu (20/3).
Ia pun menyebut, data pengaduan dan persidangan lebih banyak di tahun 2018 dibandingkan di tahun 2019. Karena pada 2018 lalu sebanyak 521 pengaduan diterima DKPP dari masyarakat.
"2018 itu ada 521 pengaduan, tetapi tidak semua layak untuk diperiksa, hanya 219 tidak dilanjutkan, jadi 302 perkara yang disidangkan. 2019 baru sedikit, baru 76 perkara, sidang baru 36, putusannya juga sudah beberapa," sebutnya.
Kasus yang paling banyak diadukan oleh masyarakat kepada pihak DKPP yakni soal rekrutmen pengawas TPS pada saat pencoblosan nanti yang dilakukan oleh Bawaslu dan juga KPU.
"Pilkada ada, tetapi sekarang jumlahnya enggak banyak. Sekarang yang banyak ini rekruitmen, karena Bawaslu dan KPU ini sedang melakukan rekrutmen. Biasanya masalahnya ini soal persyaratan yang tidak terpenuhi, ada juga yang bergabung partai, ada juga transaksi uang," jelasnya.
Selain itu, ia pun menuturkan laporan yang diterima pihaknya dari masyarakat itu pun jika sesuai akan langsung menegur pihak KPU maupun Bawaslu.
"Semua itu dilaporkan, KPU atau Bawaslu kena semua, dari provinsi dan kota. KPU dan Bawaslu pusat juga pernah kita berikan peringatan," tuturnya.
Ia pun mengungkapkan, putusan yang telah diambil oleh DKPP dalam satu perkara merupakan keputusan yang final. Terlebih, DKPP didirikan bukan sebagai lembaga pemerintahan.
"Ini ada persoalan memang (soal putusan DKPP final), dalam uu memang putusan DKPP final, kalau sanksi yang paling berat itu diberhentikan. DKPP tidak memberhentikan, tapi menginstruksikan pemberi SK untuk memberhentikan," ungkapnya.
"Nah karenanya, ada saja yang banding ke PTUN. Saya harap semua pihak memahami aturan, karena DKPP bukan lembaga pemerintahan, kita bukan administrasi pemerintahan, kita penegak kode etik," sambungnya.
Meski begitu, ia pun menyayangkan putusan dari PTUN yang telah meneruskan suatu banding perkara yang itu bukan dari bagian putusan administrasi pemerintahan. "Sayangnya PTUN ini kadang ada yang meneruskan dan memeriksa, padahal ini bukan putusan administrasi pemerintahan," pungkasnya
"Penyelenggara pemilu yang pernah diadukan DKPP ini sampai 15 ribu (sejak DKPP berdiri), tetapi apakah semua terbukti bersalah? Enggak, hanya sampai 50 persen," kata Harjono di Kantor DKPP di Gedung Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Rabu (20/3).
Ia pun menyebut, data pengaduan dan persidangan lebih banyak di tahun 2018 dibandingkan di tahun 2019. Karena pada 2018 lalu sebanyak 521 pengaduan diterima DKPP dari masyarakat.
"2018 itu ada 521 pengaduan, tetapi tidak semua layak untuk diperiksa, hanya 219 tidak dilanjutkan, jadi 302 perkara yang disidangkan. 2019 baru sedikit, baru 76 perkara, sidang baru 36, putusannya juga sudah beberapa," sebutnya.
Kasus yang paling banyak diadukan oleh masyarakat kepada pihak DKPP yakni soal rekrutmen pengawas TPS pada saat pencoblosan nanti yang dilakukan oleh Bawaslu dan juga KPU.
"Pilkada ada, tetapi sekarang jumlahnya enggak banyak. Sekarang yang banyak ini rekruitmen, karena Bawaslu dan KPU ini sedang melakukan rekrutmen. Biasanya masalahnya ini soal persyaratan yang tidak terpenuhi, ada juga yang bergabung partai, ada juga transaksi uang," jelasnya.
Selain itu, ia pun menuturkan laporan yang diterima pihaknya dari masyarakat itu pun jika sesuai akan langsung menegur pihak KPU maupun Bawaslu.
"Semua itu dilaporkan, KPU atau Bawaslu kena semua, dari provinsi dan kota. KPU dan Bawaslu pusat juga pernah kita berikan peringatan," tuturnya.
Ia pun mengungkapkan, putusan yang telah diambil oleh DKPP dalam satu perkara merupakan keputusan yang final. Terlebih, DKPP didirikan bukan sebagai lembaga pemerintahan.
"Ini ada persoalan memang (soal putusan DKPP final), dalam uu memang putusan DKPP final, kalau sanksi yang paling berat itu diberhentikan. DKPP tidak memberhentikan, tapi menginstruksikan pemberi SK untuk memberhentikan," ungkapnya.
"Nah karenanya, ada saja yang banding ke PTUN. Saya harap semua pihak memahami aturan, karena DKPP bukan lembaga pemerintahan, kita bukan administrasi pemerintahan, kita penegak kode etik," sambungnya.
Meski begitu, ia pun menyayangkan putusan dari PTUN yang telah meneruskan suatu banding perkara yang itu bukan dari bagian putusan administrasi pemerintahan. "Sayangnya PTUN ini kadang ada yang meneruskan dan memeriksa, padahal ini bukan putusan administrasi pemerintahan," pungkasnya